Fimadina.com– Yendri Junaedi, Dosen Hadits di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang, membantah keabsahan praktik ‘shalat kafarat’ atau shalat pengganti di akhir bulan Ramadhan. Dalam sebuah postingan di akun Facebook pribadinya, Junaedi mengutip pendapat sejumlah ulama terkemuka dari berbagai madzhab fiqih yang menyatakan praktik ini tidak memiliki landasan syar’i yang valid.
“Yang dimaksud dengan shalat kafarat adalah shalat yang dikerjakan di hari Jumat terakhir bulan Ramadhan. Dikerjakan setelah shalat Jumat. Lima shalat dikerjakan secara berurutan (Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya) dengan azan dan iqamah untuk setiap shalatnya. Ada yang melakukannya empat rakaat saja (nafilah). Ada yang berjamaah dan ada yang sendiri-sendiri. Shalat ini diniatkan sebagai qadha (mengganti) shalat-shalat yang pernah ditinggalkan selama hidup, berapapun jumlahnya.” tulisnya.
Praktik ‘shalat kafarat’ populer di beberapa wilayah seperti Yaman dan Khurasan, dengan klaim dapat menggantikan shalat-shalat yang tertinggal selama setahun bahkan seumur hidup. Namun, Junaedi mengutip para ulama ternama seperti Imam Syaukani, Imam Ali al-Qari, Syekh Abdul Aziz ad-Dihlawi, dan Imam Ibnu Hajar al-Haitami yang secara tegas menyatakan bahwa hadits yang menjadi landasan praktik ini adalah palsu (maudhu’).
“Hadits yang dijadikan dalil untuk shalat kafarat dinilai maudhu’ (palsu) oleh para ulama ahli hadits,” tulis Junaedi. “Shalat yang dibuat-buat seperti ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat dan tidak dapat menggantikan ibadah-ibadah yang tertinggal bertahun-tahun.”
Lebih lanjut, dosen yang mengajar di kampus putri ini mengutip pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami yang menyebut praktik tersebut sebagai “haram”. Syekh Abdul Hay al-Laknawi bahkan menulis sebuah risalah khusus untuk “mengingatkan saudara-saudara dari bid’ah di akhir Jumat Ramadhan”.
Meski demikian, Junaedi mengingatkan untuk tetap berbaik sangka kepada para ulama atau orang-orang shaleh yang mungkin melakukan praktik ini. “Bisa jadi mereka punya dasar yang tidak kita ketahui. Tapi menjadikan amalan mereka sebagai dalil untuk kita ikut melakukannya, padahal para ulama telah menegaskan kebatilan praktik tersebut, maka ini adalah baik sangka yang salah letak,” tulisnya.
Berikut tulisan lengkap Yendi Junaedi, alumni S2 jurusan Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo, Mesir dalam status Facebooknya:
Shalat kafarat / bara`ah / qadha umur, dan baik sangka yang salah letak
Yang dimaksud dengan shalat kafarat adalah shalat yang dikerjakan di hari Jumat terakhir bulan Ramadhan. Dikerjakan setelah shalat Jumat. Lima shalat dikerjakan secara berurutan (Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya) dengan azan dan iqamah untuk setiap shalatnya. Ada yang melakukannya empat rakaat saja (nafilah). Ada yang berjamaah dan ada yang sendiri-sendiri. Shalat ini diniatkan sebagai qadha (mengganti) shalat-shalat yang pernah ditinggalkan selama hidup, berapapun jumlahnya.
Dasar yang digunakan adalah hadits yang dinisbahkan pada Rasulullah Saw:
من فاتته صلوات ولا يدري عددها فليصل يوم الجمعة أربع ركعات نفلا بسلام واحد ويقرأ فى كل ركعة بعد الفاتحة آية الكرسي سبع مرات و(إنا أعطيناك الكوثر) خمس عشرة مرة
“Siapa yang pernah meninggalkan shalat dan ia tidak tahu berapa jumlahnya maka hendaklah ia shalat di hari Jumat empat rakaat nafilah dengan satu salam. Setiap rakaat ia baca setelah al-Fatihah ayat kursi tujuh kali dan al-Kautsar lima belas kali.”
Ada juga hadits yang dinisbahkan datang dari Ali bin Abi Thalib ra:
قال علي بن أبي طالب : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن فاتته صلوات سبعمائة سنة كانت هذه الصلاة كفارة لها ، قالت الصحابة : إنما عمر الإنسان أي من هذه الإمة سبعون سنة أو ثمانون ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كانت كفارة لما فاته وما فات من الصلوات من أبيه وأمه ولفوات أولاده
Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Shalat ini bisa menjadi penebus shalat yang tinggal selama tujuh ratus tahun.” Para shahabat berkata, “Umar manusia hanya sekitar tujuh puluh atau delapan puluh tahun.” Rasulullah Saw bersabda: “Ia akan menjadi penebus untuk shalat-shalat tertinggal (fawait) ayahnya dan ibunya serta anak-anaknya.”
Shalat ini adalah shalat yang dibuat-buat (bid’ah). Menurut Syekh Abdul Hay al-Laknawi, bid’ah ini mulai muncul di Yaman dan Khurasan. Hadits-hadits yang digunakan sebagai dasar untuk shalat ini adalah hadits-hadits maudhu’.
Imam Syaukani menulis dalam al-Fawaid al-Majmu’ah:
حديث من صلى فى آخر جمعة رمضان الخمس الصلوات المفروضة فى اليوم والليلة قضت عنه ما أخل به من صلاة سنة، هذا موضوع بلا شك فيه ولم أجد فى شيء من الكتب التي جمع مصنفوها فيها الأحاديث الموضوعة ولكنه اشتهر عند جماعة من المتفقهة بمدينة صنعاء فى عصرنا هذا وصار كثير منهم يفعلون ذلك ولا أدري من وضعه لهم فقبح الله الكذابين
“Hadits: “Siapa yang shalat di Jumat terakhir Ramadhan lima shalat fardhu sehari semalam maka hal itu akan mengganti shalat-shalat yang rusak selamat setahun,” adalah hadits palsu, tanpa diragukan lagi. Saya tidak menemukannya di kitab-kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits maudu’ manapun. Hadits-hadits ini tersebar di sebagian kalangan mutafaqqih di kota Shan’a di masa ini, lalu banyak orang yang melakukannya. Saya tidak tahu siapa orang yang membuatnya.”
Imam Ali al-Qari menulis dalam Tadzkirah al-Maudhu’at:
حديث من قضى صلاة من الفرائض فى آخر جمعة رمضان كان ذلك جابرا لكل صلاة فائتة فى عمره إلى سبعين سنة، باطل قطعا لأنه مناقض للإجماع على أن شيئا من العبادات لا يقوم مقام فائتة سنوات
“Hadits: “Siapa yang mengqadha satu shalat fardhu di Jumat terakhir Ramadhan maka hal itu akan mengganti seluruh shalat yang tertinggal selama hidupnya sampai tujuh puluh tahun,” adalah hadits batil karena bertentangan dengan kesepakatan ulama bahwa ibadah apapun tidak bisa menggantikan ibadah yang tertinggal bertahun-tahun.”
Syekh Abdul Aziz ad-Dihlawi ketika menjelaskan tanda-tanda hadits palsu dalam Risalahnya al-‘Ujalah an-Nafi’ah menulis:
أن يكون مخالفا لمقتضى العقل وتكذبه القواعد الشرعية مثل القضاء العمري ونحو ذلك
“Diantara tanda hadits palsu itu adalah isinya bertentangan dengan tuntutan akal dan kaidah-kaidah syariat seperti hadits tentang qadha` umur dan sebagainya.”
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfat al-Muhtaj setelah menjelaskan tentang bid’ahnya menulis a-Hafa`izh di Jumat terakhir Ramadhan menulis:
وَأَقْبَحُ مِنْ ذَلِكَ مَا اعْتِيدَ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ مِنْ صَلَاةِ الْخَمْسِ فِي هَذِهِ الْجُمُعَةِ عَقِبَ صَلَاتِهَا زَاعِمِينَ أَنَّهَا تُكَفِّرُ صَلَوَاتِ الْعَامِ أَوْ الْعُمْرِ الْمَتْرُوكَةِ وَذَلِكَ حَرَامٌ
“Yang lebih buruk dari itu adalah kebiasaan di sebagian daerah melakukan lima shalat di Jumat tersebut -setelah shalat Jumat- dengan anggapan ia bisa mengganti shalat-shalat yang tertinggal selama setahun atau bahkan selama hidup. Ini adalah haram.”
Syekh Abdul Hay al-Laknawi dalam Risalah yang ditulisnya khusus berkenaan dengan hal ini yang ia beri judul dengan: ردع الإخوان عن محدثات آخر جمعة رمضان menulis:
والذي يدل على أن الصلاة المذكورة لا أصل لها خلو أكثر الكتب المعتمدة عن ذكرها …، وقال: وكذلك كتب الشافعية والمالكية والحنبلية خالية عن ذلك …
“Diantara hal yang menunjukkan bahwa shalat tersebut tidak memiliki dasar sama sekali adalah tidak disebutkan di sebagian besar kitab yang mu’tamad, -lalu ia menyebutkan belasan kitab-kitab yang mu’tamad dalam Madzhab Hanafi-, lalu ia melanjutkan, “Demikian juga (tidak disebutkan) dalam kitab-kitab Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah.”
***
Beberapa kalangan yang membolehkan shalat ini berargumen, “Shalat ini dilakukan oleh beberapa ulama, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu yang tidak berdasar.”
Kalau memang benar ada beberapa ulama yang melakukannya, kita berbaik sangka boleh jadi mereka punya dasar yang tidak kita ketahui. Tapi menjadikan amalan mereka sebagai dasar untuk ikut mengamalkannya, sementara para ulama yang sudah kita nukilkan pendapat mereka diatas secara tegas menyatakan bahwa hadits tentang shalat kafarat ini palsu sehingga shalat itu sendiri haram dilakukan maka ini adalah baik sangka yang salah letak.
Mereka (para ulama dan orang-orang shaleh) itu memang tidak menyengaja membuat hadits palsu. Tapi ‘kebersihan hati’ mereka boleh jadi membuat mereka menerima saja apapun kalimat yang dinisbahkan pada Rasulullah Saw, apalagi jika berkaitan dengan dorongan untuk beribadah.
Dengan bahasa yang keras, Imam Yahya bin Sa’id al-Qathan berkata:
ما رأيت الصالحين أكذب منهم فى الحديث
“Saya tak pernah melihat orang-orang shaleh itu ‘lebih pendusta’ dalam satu hal dibandingkan dalam hadits.”
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]