Isu larangan tasyabuh atau menyerupai non muslim menjadi topik yang selalu menjadi perbincangan hangat ditengah-tengah masyarakat. Fenomena ini terkadang menjadi masalah terhadap hubungan sosial masyarakat muslim. Pasalnya tidak sedikit para pelaku tasyabuh itu mendapat label “kafir” oleh saudara sesama muslimnya itu sendiri. Argumentasi yang mereka gunakan dari tahun ke tahun relatif sama dan tidak jauh berbeda. Dalam kasus ini mereka mengutip hadis Ibnu Umar riwayat Abu Dawud :
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian darinya”[1]
Secara kualitas, hadis ini masih menjadi perdebatan para ulama terkait shahih dan tidaknya. Ada yang mengatakan shahih, tidak sedikit pula yang berpendapat hadis ini dhaif (lemah). Menurut Kiai Ali Musthafa Ya’kub andai kata hadis ini shahih maka maksudnya adalah menyerupai pakaian dan perbuatannya yang bersifat khusus. Seperti meniru gaya berpakaian atau ritual khusus pada upacara atau ibadah agama lain, yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini ada kaitannya dalam masalah akidah dan mempunyai konsekuensi hukum dalam Islam.
Oleh karenanya, menyerupai non muslim dalam hal-hal yang bersifat tidak khusus boleh-boleh saja, selama tidak bertentangan dengan ajaran islam. Seperti meniru dalam hal berpakaian, gaya rambut dan sejenisnya. Maka hadis ini tidak boleh digeneralisir maknanya sebab akan bertentangan dengan hadis lain lebih teruji keshahihannya. Dalam Shahih al-Bukhari Ibnu ‘Abbas mengatakan :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر فيه
“Sesungguhnya Rasulullah saw menyukai untuk menyamai Ahlul kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (selama tidak ada larangan).”[2]
Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah itu semula kalau hendak menyisir rambut memakai jambul di depan, yang mana hal itu merupakan tradisi orang-orang musyrikin. Lalu rasulullah mengubah cara menyisir rambut dengan dibelah ke kanan dan ke kiri (belah dua), dan itu adalah tradisi orang-orang yahudi dan nasrani. Rasulullah pun menyukai yang kedua itu. Dalam hal ini jelas tidak ada nash yang melarang perbuatan Rasulullah tersebut. Maka Rasulullah menyukainya.
Lebih lanjut, Kiai Ali sering menyarankan ketika berkunjung ke beberapa daerah untuk membangun masjid dengan mengadopsi arsitektur dan ornamen budaya daerahnya. Tujuannya agar masyarakat tidak merasa asing dengan budayanya. Karena membangun masjid dengan menggunakan kubah itu bukan sebuah perintah dalam agama. Sejarah mencatat bahwa kubah masjid merupakan adopsi dari katedral Hagia Sophia. Salah satu arsitektur yang terinspirasi dengan Katedral Haghia Sophia adalah Manar Sinan, arsitek kebanggaan kesultanan Otoman. Salah satu karyanya adalah Blue Mosque (Sultan Ahmet Mosque). Mesjid ini merupakan permintaan sultan Muhamad al-Fatih untuk membuat bangunan yang megahnya seperti Katedral Haghia Sophia.
Oleh karenanya mengadopsi budaya non muslim yang bukan merupakan ritual ibadah dan hal yang bersifat khusus tidak lantas menjadikannya haram. Selama tidak menyentuh ranah Akidah maka tidak menjadi masalah. Andaikata makna tasyabuh itu digeneralkan dalam semua aspek, maka akan sangat menyulitkan umat islam dalam bermuamalah. Islam adalah agama yang menghadirkan kemudahan bagi pemeluknya, orang-orang Islam sendirilah yang terkadang mempersulit dirinya sendiri. Walaupun tetap Islam mempunyai batasan-batasan tersendiri, kapan perbuatan itu boleh dan kapan perbuatan itu tidak boleh.
[1] Abu Dawud, Sunan Abu dawud 4/4031, (Beirut: Maktabah Ashriyyah, 1900), hal.44.
[2] Muhamad Ibn Ismail, Shahih al-Bukhari 7/5917 (Beirut: Dar al-Thauq al-Najah, 2012) hal.162.