Inilah Syarat Niat Puasa Agar Sah!

waktu baca 9 menit
Jumat, 31 Mar 2023 03:34 0 108 Nana Taryana

Fimadina– Sama halnya dengan ibadah lainnya, bahwa ibadah ada rukun sebagai syarat sahnya ibadah. Begitu pula dengan puasa, dan menurut Ahmad Zarkasih, Lc dalam bukunya Bekal Ramadhan menyebutkan bahwa rukun puasa itu ada dua, yaitu:

1. Niat, dan
2. Imsak; yakni menahan.
Kalau berbicara niat, biasanya yang langsung terpantri dalam otak orang muslim Indonesia kebanyakan ketika mendengan kata niat puasa
adalah redaksi yang masyhur:
ِنَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma ghadi ‘an adaa’I fardhi Ramadhan hadzihi al-sanah lilla ta’ala”
Kemudian muncul pertanyaan; benarkah niat dengan redaksi itu yang harsu diucapkan? Dan apakah redaksi semacam itu pernah dicontohkan oleh Nabi s.a.w.? jawabannya jelas tidak ada contohnya, tidak dari Nabi saw, tidak juga dari sahabat, tidak juga dari kalangan tabi’in dan pengikutnya.

Tapi yang harus diketahui adalah bahwa niat puasa itu punya syarat-syaratnya. dalam al-Mausu’ah alFiqhiyah Kuwait (28/21), syarat niat yang disepakati para ulama madzhab itu ada 4;
1. Jazm جزم = Yakin
2. Ta’yiin تعيين = Ditentukan
3. Tabyiit  تبييت = Pengukuhan
4. Tajdid تجديد = Diperbaharui

Penjelasan:

A. Jazm جزم
Seorang muslim yang berniat haruslah yakin dengan niatnya, tidak gamang. Seperti mengatakan: “kalau besok ngga jadi safar, saya puasa. Kalau jadi saya ngga puasa!”. Harus yakinkan diri, puasa atau tidak? Juga bukan di hari syak (hari setelah tanggal 29 Sya’ban), apakah besok sudah masuk Ramadhan atau tidak. misalnya mengatakan: “kalau besok benar tanggal satu saya puasa, kalau tidak ya ngga puasa!”. Harus dipastikan sebelumnya apakah besok benar tanggal 1 atau tidak. Maka untuk memastikan itulah butuh adanya pihak yang mampu dan kompeten dalam menentukan awal Ramadhan. Itu juga berarti tidak boleh seseorang berpuasa tanpa mengikuti orang lain atau pihak otoritatif yang menentukan awal Ramadhan di mana mereka tinggal.

B. Ta’yiin تعيين

Ta’yin itu jika diterjemahkan secara bahasa ke dalam bahasa Indonesia adalah menentukan. Maksudnya adalah niat puasa itu haruslah memberikan spesifikasi atas ibadah yang ingin
dikerjakan, dalam hal ini puasa. Jadi, dalam niat harus ditentukan puasanya itu puasa apa? apakah ini puasa wajib atau bukan? Lalu kalau wajib, ini wajib apa? apakah Ramadhan atau nadzar, atau qadha? Harus ditentukan dengan jelas. Karena syarat kedua inilah kemudian muncul redaksi dari ulama untuk memudahkan para orang muslim

صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ

“puasa esok hari, wajib bulan Ramadhan tahun ini”. tidak cukup hanya dengan niat secara mutlak tanpa ditentukan
jenisnya. Kenapa harus ditentukan? Karena puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan waktu (hari), maka harus ditentukan waktunya, agar tidak tercampur dengan puasa lain. Layaknya shalat 5 waktu yang harus ditentukan jenis shalatnya ketika niat agar tidak bias dengan shalat yang lain. Ini adalah pendapat al-Malikiyah, al-Syafi’iyyah dan al-Hanabilah. (al-Majmu’ 2/50, al-Mughni 3/109).
Namun bagi kalangan al-Hanafiyah, tidak perlu adanya penentuan puasa dalam niat, cukup dengan niat puasa mutlak saja tanpa ditentukan jenisnya. Karena yang namanya puasa Ramadhan itu tidak mungkin dilakukan di luar Ramadhan, maka ketika ada yang berniat puasa, pastilah itu untuk Ramadhan. Terlebih lagi bahwa puasa itu ibadah yang mudhoyyaq (waktunya sempit), satu hari itu hanya cukup untuk satu puasa. Jadi mana mungkin ia berniat selain utnuk Ramadhan? (Radd al-Muhtarr 2/378).

Fungsi Niat
“Amal manusia itu tergantung kepada niatnya, dan manusia akan mendapat apa yang ia niatkan”. Hadits ini disepakati kesahihannya bahwa benarbenar bersambung kepada Nabi s.a.w., dan dari hadits ini juga ulama menyimpulkan banyak hal. Ulama mengatakan dari hadits ini, Nabi s.a.w. memposisikan niat sebagai instrument penting dalam setiap amal orang muslim. Niat bukan hanya pelengkap lisan, atau juga dekorasi bibir, tapi punya posisinya yang sangat menentukan; Secara automatically orang berfikir bahwa untuk mendapatkan pahala, pekerjaan itu juga harus diniatkan sebagai ibadah, dan kalau mau dapat pahala zuhur, maka berniat untuk shalat zuhur; karena seseorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Dalam bahasa ” ushul-Fiqh”-nya, ulama menyebut dengan istilah dalalat-Tanbih atau dalalatal-Iqtidha’. Secara sederhana maksud istilah itu bahwa otak akan berfikir kepada itu secara otomatis. Nah, dari hadits ini juga kemudian ulama
menjelaskan bahwa niat itu punya 2 fungsi (wadzifah);

Pertama; “Membedakan antara ibadah dan kebiasaan”,

Kedua; “Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain”. Ini yang dijelaskan secara rinci oleh imam alSuyuthi dalam al-Asybah wa An-Nadzoir, pada bab Qaidah “al-Umuru bi-Maqashidiha”.

1. Membedakan Antara Ibadah dan Kebiasaan

Kita punya kebiasaan yang teknisnya mirip sekali dengan ibadah yang memang sudah disyariatkan agama ini. Maka agar pekerjaan itu tidak dinilai sebagai kebiasaan semata yang tidak ada nilai pahalanya, niatkan itu sebagai ibadah. Contohnya; “Ngadem” di masjid, itu kebiasaan
banyak orang, siapapun melakukannya, dari mulai mahasiswa yang mau ngaji, sampai supir taksi, juga jomblo yang tak henti memikirkan calon pujahaan hati. Tapi “ngadem” di masjid tidak berarti apa-apa kalau tidak diniatkan diawal untuk beri’tikaf di masjid. Begitu juga, mandi pagi di hari Jumat. Itu kebiasaan semua orang. Tapi kalau tidak diniatkan sebagai ibadah sunnah mandi Jum’at, ya bersihnya dapat, bau badan hilang, juga dapat kesegaran, tapi sayang pahala tak mampu diraih karena niat yang terlewati. Atau juga sikat gigi setelah bangun tidur. Itu kebiasaan, tapi di lain sisi itu juga kesunahan yang dianjurkan oleh Nabi s.a.w., mengerjakannya bisa dapat pahala, jika sejak awal diniatkan untuk beribadah mengikuti sunnah Nabi s.a.w.

2. Membedakan Antara Ibadah Dengan Ibadah Lain Yang Punya Teknis Mirip

Misalnya seseorang masuk masjid di subuh hari; ia shalat 2 rakaat, kemudian shalat lagi 2 rakaat, dan selanjutnya 2 rakaat lagi. 2 rakaat pertama sebagai tahiyatul masjid, 2 rakaat kedua sebagai qabliyah subuh dan 2 rakaat terakhir sebagai shalat subuh. Semua sama, lalu apa yang membedakan dan akhirnya pahala masing-masing ibadah tercapai serta gugur kewajibannya? Niat yang menjadi pembeda. Ini yang kemudian ulama menyepakati adanya “Ta’yin” (spesifik i.e tertentu) dalam niat ibadah. Karena wajar sekali jika ada redaksi niat “ushalli
fardha ….. dst”. Ini ada untuk memenuhi syarat Ta’yin tersebut. Ushalli (saya niat shalat) Fardha, disebutkan karena memang shalat ada yang fardh ada juga yang sunnah. Ushalli fardha Zuhri, jenis shalat disebutkan karena memang shalat fardhu itu ada 5 jenisnya, maka ditentukan fardhu yang mana? Setelahnya ada “arba’ah rokaatin”, untuk membedakan antara zuhur yang 2 rokaat, bagi musafir, dan yang sempurna bagi muslim. Setelah itu juga ditentukan, Imaman atau Ma’muman; syarat berjamaah itu si makmum harus berniat jadi makmum. Setelah Ada’an atau Qadha’an; apakah shalat itu di waktunya atau di luar waktunya? Harus juga ditentukan. Kita tidak berbicara apakah harus dilafadzkan atau tidak? Aslinya niat itu di hati, tapi jika sulit hati meniatkan, maka bantu dengan mulut. Dan ulama 4 madzhab sunnj muktamad tidak ada yang menyalahkan pelafadzan niat, memakruhkan iya. Tapi tidak menyalahkan apalagi sampai
membidahkan. Tapi tetap, niat itu di hati. Dan ulama mengajarkan kita tentang niat ibadah yang mana harus Ta’yin. Maka itu ulama mengajarkan ini.

C. Tabyiit تبييت

Harus dikukuhkan niat tersebut di malam sebelum hari yang ingin dilakukan puasa itu datang, yaitu setelah terbenam matahari sampai menjelang terbit fajar hari itu. Ini didasarkan kepada hadits Nabi saw:

“Siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sampai terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ahmad)

D. Tajdid al-Niyyah / Pembaharuan Niat

Nah, dari salah satu syarat di antara syarat-syarat niat tersebut ialah Tajdid al-Niyyah [النيةُ تجديد ,[yaitu memperbaharui niat di setiap malam Ramadhan. Ini adalah pendapat Jumhur ulama dari 4 madzhab fiqih, selain madzhab Imam Malik. Madzhab Imam Daar alHIjrah ini melihat bahwa tidak perlu adanya pembaharuan niat di setiap malam Ramadhan.

Jumhur Madzhab Fiqih
Jumhur ulama dari kalangan al-Hanafiyah, alSyafi’iyyah dan al-Hanabilah sepakat bahwa yang namanya niat Ramadhan itu harus di-update di setiap malam Ramadhan. Tidak cukup hanya niat di awal bulan saja, mesti setiap malam. Mereka mengatakan bahwa puasa di hari-hari
Ramadhan adalah ibadah yang independent di setia harinya, tidak punya keterkaitan antara hari-hari tersebut. Karena setiap harinya itu berbeda dengan hari selanjutnya atau sebelumnya, maka wajib di setiap hari ada niat yang dikhususkan utnuk hari itu. Bukti bahwa masing-masging hari Ramadhan itu tidak punya keterkaitan, bahwa jika pada salah satu hari puasanya batal, maka itu tidak membatalkan puasanya di hari sebelumnya. Begitu juga selbaliknya, sah-nya puasa di hari ini tidak bisa membuat puasa esok hari juga menjadi sah. Jadi memang mereka berdiri sendiri-sendiri. Tidak seperti shalat yang semua gerakannya adalah satu kesatuan, yang jika salah satunya batal, maka batal shalat tersebut. Terlebih lagi dalam satu bulan itu tidak semua diwajibkan berpuasa, tapi puasa hanya di bagian siangnya saja, malamnya tidak. berarti memang hari-hari wajib puasa Ramadhan itu terputus, bukanlah suatu kesatuan. (al-Mabsuth liSarakhsi 3/60, al-Majmu’ 6/302, Kassyaf al-Qina’ 2/315)

Madzhab Imam Malik
Madzhba Imam Malik berpendapat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh 3 madzhab lainnya. Mereka menganggap bahwa cukup dengn satu niat di awal bulan, puasanya sepanjang bulan Ramadhan itu sah. Imam Amhmad al-Dardiir mengatakan dalam kitabnya al-Syarh al-Kabir, bahwa puasa Ramadhan ibadah yang punya satu kesatuan, karena kewajiban puasa di dalamnya itu berurutan satu sama lain tidak
terpisah, yang mana seseorang tidak bisa memisahkan kewajiban ibadah puasa hari yang satu ke hari yang lain di bulan lain. (al-Syarh al-Kabir 1/521)

E. Haruskah Dengan Nawaitu Shauma .…

Ulama yang menciptakan redaksi tersebut ialah Imam al-Rafi’i al-Quzwaini (w. 623 H) dari kalangan al-Syafi’iyyah. Beliau menuliskan redaksi niat tersebut dalam kitabnya Fathul-‘Aziz bi Syarhi alWajiz atau biasa yang disebut denagn istilah alSyarhu al-Kabir li al-Rafi’iy (6/293) sebagai implementasi atas syarat-syarat niat tersebut guna memudahkan bagi para muslim ketika ingin berniat puasa Ramadhan.
Yang kemudian, niat tersebut kembali ditulis ulang oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya Raudhah alThalibin yang akhirnya menjadi familiar dan banyak diamalkan kebanyakan muslim.

Apakah boleh berbeda?
Tentu saja boleh. Boleh kita berniat dengan bahasa Indonesia saja, atau bahasa masing-masign daerah. Yang penting adalah syarat-syarat niat yang 4 itu harus terpenuhi. Mayshurnya redaksi niat dengan bahasa Arab yang disebutkan di atas bukanlah menjadi syarat bahwa memang harus begitu jika ingin berniat. Sebab masyhurnya niat tersebut keran memang gurunya guru kita dan gurunya guru mereka itu ya
orang-orang Atab sana. Mereka menuliskan materimateri kajian yang disampaikan kepada muridnya dengan bahasa yang mereka pakai. Jadi wajar kemudian jika memang yang banyak dipakai itu adalah niat dengan redaksi bahasa Arab. Mungkin jika guru yang pertama mengajarkan itu orang karawang, redaksi niat yang masyhur itu berbahasa sunda.

Tuntunan Puasa Ramadhan – Bab 5 Syarat Niat Ramadhan hal 35-44
Penulis : Ahmad Zarkasih, Lc

Penerbit : Rumah Fiqih Publishing

Nana Taryana

Nana Taryana

Ustadz dan Tokoh Masyarakat

Home
Kontak Kami
Search
Kembali