Peristiwa Isro’ dan Mi’roj merupakan salah satu mukjizat besar Rasulullah SAW yang menjadi pelajaran penting dalam Islam. Dalam perjalanan ini, Rasulullah SAW diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Namun, perlu dipahami bahwa peristiwa ini tidak berarti Allah SWT berada di tempat tertentu seperti di langit atau di atas ‘Arsy.
Dalam kitab “Nur Adh-Dholam”, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, ulama besar Nusantara, menegaskan:
“و ليس الله سبحانه و تعالى فى مكان و لا جهة تنزه الله عن ذلك و إنما المكان منسوب الى النبى صلى الله عليه و سلم.”
“Allah Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah. Maha Suci Allah dari segala sesuatu yang menyerupai makhluk. Tempat hanyalah dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.”
Beliau juga menjelaskan maksud sabda Rasulullah SAW:
“لا تفضلوني على يونس بن متى”
“Janganlah kalian menganggap aku lebih utama daripada Nabi Yunus bin Matta.”
Maksudnya, Rasulullah SAW mengajarkan agar kita tidak berpikir bahwa beliau lebih dekat kepada Allah hanya karena diangkat ke atas langit, sementara Nabi Yunus berada di dalam perut ikan di dasar laut. Kedekatan seorang hamba dengan Allah tidak bergantung pada tempat, karena Allah tidak terikat oleh ruang atau arah.
Pemahaman ini sangat penting untuk menghindari kesalahan akidah. Jika Allah dikatakan berada di langit, di atas ‘Arsy, atau di tempat tertentu, maka logikanya orang yang berdiri akan lebih dekat kepada Allah dibandingkan orang yang sujud. Bahkan, astronot yang berada di luar angkasa akan lebih dekat dibandingkan wali Allah yang bersujud di bumi.
Padahal Rasulullah SAW bersabda:
“أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ”
“Keadaan di mana seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud. Maka perbanyaklah doa ketika sujud.” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa kedekatan kepada Allah tidak ditentukan oleh lokasi, melainkan oleh kondisi spiritual dan keikhlasan seorang hamba.
Sebagian kelompok menggunakan ayat dalam Surat Al-Mulk untuk menyatakan bahwa Allah berada di langit:
“أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ”
(“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang?”) (QS. Al-Mulk: 16).
Namun, Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Tafsir Munir menjelaskan:
“قال العلامة الشيخ محمد نووي الجاوي في قوله تعالى أأمنتم من فى السماء ان يخسف بكم الأرض : وهو متعال عن المكان”
“Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani berkata tentang firman Allah, ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi’: Allah Maha Luhur dari tempat.”
Beliau menegaskan bahwa frasa “Allah yang di langit” tidak berarti Allah berada di langit secara fisik, melainkan merujuk kepada kekuasaan dan keagungan Allah. Penafsiran literal terhadap ayat ini dapat menyebabkan kesalahpahaman yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Keyakinan bahwa Allah berada di langit atau di tempat tertentu merupakan pemahaman yang keliru dan berbahaya. Jika seseorang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat dengan pengertian bahwa Allah secara fisik ada di setiap tempat, maka ini dapat menyebabkan kekufuran. Namun, jika pengertian tersebut merujuk kepada kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu, maka tidak dihukumi kafir.
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdullah Al-Harari dalam kitab Ash-Shirot Al-Mustaqiim:
“و حكم من يقول إن الله في كل مكان أو في جميع الأماكن التكفير إذا كان يفهم من هذه العبارة أن الله بذاته منبث أو حال فى الأماكن ، أما إذا كان يفهم من هذه العبارة أنه تعالى مسيطر على كل شيء فلا يكفر.”
“Hukum orang yang mengatakan ‘Allah ada di setiap tempat’ menjadi kafir jika ia memahami bahwa Allah secara zat berada di tempat-tempat tersebut. Namun, jika yang dimaksud adalah bahwa Allah Maha Menguasai segala sesuatu, maka tidak dihukumi kafir.”
Peristiwa Isro’ dan Mi’roj memberikan pelajaran penting bahwa Allah SWT tidak bergantung pada tempat, arah, atau ruang. Allah ada tanpa tempat, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Penting bagi umat Islam untuk berhati-hati dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru.
Sumber: Artikel ini dilansir dari piss-ktb.com.