Fimadina.com- Dalam tradisi keislaman, khususnya di lingkungan pesantren, penghormatan terhadap guru (tadzim) dianggap sebagai salah satu prasyarat utama dalam memperoleh keberkahan ilmu. Konsep ini telah lama diwariskan dalam berbagai ajaran Islam dan menjadi bagian integral dalam hubungan antara murid dan guru. Namun, dalam perkembangannya, muncul perdebatan mengenai bagaimana praktik tadzim ini dapat dipahami dalam konteks modern, terutama terkait dengan isu feodalisme di lingkungan pesantren.
Tadzim kepada guru merupakan nilai yang ditekankan dalam Islam. Beberapa bentuk penghormatan yang umum dilakukan oleh para santri di pesantren meliputi berdiri ketika guru datang, mencium tangan kiai, dan menggunakan bahasa yang sopan ketika berbicara dengan mereka. Dalam berbagai referensi Islam, penghormatan kepada guru dipandang sebagai salah satu kunci keberkahan ilmu. Rasulullah SAW sendiri menegaskan pentingnya menghormati ulama sebagai pewaris para nabi (Suara Muhammadiyah).
Dalam budaya pesantren, mencium tangan kiai atau guru bukan sekadar gestur fisik, tetapi juga bentuk simbolis dari pengakuan terhadap keilmuan dan keberkahan yang mereka miliki. Beberapa ulama menyebutkan bahwa tradisi ini didasarkan pada hadis-hadis yang menganjurkan penghormatan kepada orang yang lebih tua dan berilmu (NU Online). Hal ini juga ditegaskan dalam berbagai kitab klasik yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan Islam.
Dalam perspektif fikih, mencium tangan seorang kiai atau ulama memiliki dasar yang kuat jika dilakukan dengan niat penghormatan, bukan pengultusan. Beberapa ulama dari madzhab Syafi’i dan Hanafi membolehkan praktik ini, dengan catatan bahwa tidak ada unsur yang berlebihan hingga menimbulkan pemujaan yang berlebihan (NU Online). Namun, ada juga pendapat yang lebih berhati-hati, terutama jika praktik tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan persepsi bahwa seorang kiai memiliki status yang terlalu tinggi dibandingkan manusia pada umumnya.
Sowan atau berkunjung ke kiai juga merupakan tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat santri. Selain sebagai bentuk penghormatan, sowan menjadi ajang untuk mendapatkan doa, nasihat, dan ilmu langsung dari para ulama. Di beberapa daerah, sowan menjadi bagian dari ritual tahunan, terutama menjelang bulan Ramadan atau menjelang santri kembali ke pesantren setelah liburan (Lirboyo.net).
Meskipun tadzim kepada guru memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, tidak sedikit kritik yang muncul mengenai praktik penghormatan yang dianggap berlebihan dan dapat mengarah pada feodalisme di lingkungan pesantren. Kritik ini umumnya datang dari mereka yang melihat bahwa penghormatan terhadap kiai dalam beberapa kasus telah berkembang menjadi hubungan patron-klien yang menempatkan santri dalam posisi subordinat yang sulit untuk menyampaikan kritik atau perbedaan pendapat (NU Online).
Beberapa pengamat pendidikan Islam menilai bahwa pola hubungan yang terlalu hierarkis dapat menghambat daya kritis santri dan menciptakan pola pikir yang cenderung pasif. Dalam beberapa kasus, feodalisme dalam pesantren juga dikaitkan dengan kurangnya transparansi dalam sistem pengelolaan pesantren serta minimnya ruang bagi santri untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Indozone).
Namun, di sisi lain, banyak pihak yang menegaskan bahwa penghormatan dalam tradisi pesantren bukanlah bentuk feodalisme, melainkan warisan dari adab yang luhur dalam menuntut ilmu. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang berbasis nilai-nilai tradisional, memiliki sistem yang berbeda dari lembaga pendidikan formal modern. Dalam sistem ini, hubungan antara kiai dan santri lebih menyerupai hubungan antara orang tua dan anak, di mana kedisiplinan dan kepatuhan menjadi bagian dari proses pendidikan karakter.
Tadzim kepada guru merupakan nilai fundamental dalam Islam yang bertujuan untuk menanamkan sikap hormat, disiplin, dan keberkahan dalam menuntut ilmu. Namun, dalam implementasinya, perlu ada keseimbangan antara penghormatan dan kebebasan berpikir. Tradisi pesantren yang telah berlangsung selama berabad-abad tentu memiliki nilai-nilai luhur yang patut dipertahankan, tetapi pada saat yang sama juga perlu terus beradaptasi dengan perkembangan zaman agar tidak menimbulkan persepsi negatif terkait feodalisme.
Pendidikan Islam idealnya tidak hanya mengajarkan penghormatan kepada guru, tetapi juga membentuk santri yang kritis, mandiri, dan mampu berkontribusi dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pesantren untuk terus mengkaji praktik-praktik yang ada agar tetap relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa kehilangan esensi nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu.