Fimadina.com- Menjelang Idul Adha, Yendri Junaedi, ulama muda asal Padang Panjang, membagikan tuntunan lengkap tata cara pelaksanaan ibadah kurban sesuai dengan syariat Islam. Lewat catatan yang diunggah di akun Facebook pribadinya, Yendri mengupas secara rinci aspek-aspek penting seputar pelaksanaan kurban.
Salah satu pokok bahasan yang dijabarkan adalah soal jumlah maksimal orang yang boleh berserikat dalam satu ekor hewan kurban. Merujuk hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim, untuk unta atau sapi, hanya diperbolehkan maksimal tujuh orang berserikat. Sementara untuk kambing, hadits Imam Malik menggariskan hanya satu orang saja yang dapat mengurbankannya.
Yendri juga menegaskan bahwa menjual kulit hewan kurban tidak diperkenankan, sesuai hadits Imam Hakim. Namun, kulit tersebut boleh disedekahkan atau dimanfaatkan sendiri. Bila tidak ada yang mau menerimanya sebagai sedekah, kulit boleh dijual dengan hasil penjualannya disalurkan kepada fakir miskin, mengacu pendapat sejumlah ulama.
Terkait upah pekerja dan tukang jagal, Yendri mengingatkan tidak boleh diambil dari daging kurban, merujuk hadits Muslim yang menceritakan pesan Nabi Muhammad SAW kepada Ali bin Abi Thalib. Meski begitu, bila upah sudah dibayar penuh, mereka boleh diberi daging sebagai sedekah atau hadiah sesuai penjelasan para ulama.
Berikut kutipan lengkap catatan tersebut:
Beberapa hal yang kerap ditanyakan terkait Kurban
Pertama, tentang kurban secara kolektif
A. Kalau hewan kurbannya adalah unta atau sapi maka ia hanya boleh untuk (atas nama) tujuh (7) orang saja. Hal ini berdasarkan hadits :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ» (رواه مسلم رقم 1318).
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ketika masa Hudaibiyyah, kami bersama Rasulullah Saw menyembelih unta untuk (atas nama) tujuh orang, dan sapi juga untuk (atas nama) tujuh orang.”
Berdasarkan hadits ini maka dalam satu ekor sapi tidak boleh berserikat lebih dari tujuh orang. Kalau ada sepuluh (10) orang berserikat dalam satu ekor sapi maka kurban mereka tidak sah. Ia hanya akan menjadi sedekah biasa saja.
Demikian juga melakukan subsidi silang dalam kurban, tidak dibolehkan. Misalnya, panitia kurban mengumpulkan iuran dari tujuh (7) orang peserta kurban untuk satu ekor sapi. Tiba-tiba harga sapi naik. Untuk menutupi kekurangan tersebut, panitia tidak boleh mengambilnya dari kelebihan uang yang ada di kelompok lain. Yang mesti dilakukan panitia kurban adalah meminta iuran tambahan dari ketujuh peserta kurban tersebut, bukan menutupinya dari sumber yang lain.
B. Kalau hewan kurbannya adalah kambing maka ia hanya boleh untuk (atas nama) satu orang saja, tidak boleh lebih. Hal ini berdasarkan hadits :
قَالَ أَبُو أَيُّوْبَ الْأَنْصَارِيّ: «كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَصَارَتْ مُبَاهَاةً» (رواه مالك فى الموطأ رقم 638).
Abu Ayyub al-Anshari ra (seorang sahabat Rasulullah Saw) berkata: “Kami berkorban dengan seekor kambing yang disembelih oleh satu orang atas nama dirinya dan keluarganya. Tapi setelah itu banyak orang yang berbangga-bangga sehingga ia sudah menjadi seperti perlombaan.” (HR. Malik. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab).
Berdasarkan hadits ini maka satu ekor kambing hanya bisa dikorbankan atas nama satu orang. Ia bisa meniatkan kurban itu untuk dirinya dan keluarganya sekaligus. Karena ibadah kurban itu hukumnya sunnah kifayah yang kalau sudah dikerjakan oleh kepala keluarga maka anggota keluarga lain sudah mendapatkan pahalanya.
Kedua, tentang menjual kulit hewan kurban
A. Tidak dibolehkan menjual kulit hewan kurban berdasarkan hadits :
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ (رواه الحاكم فى المستدرك)
“Siapa yang menjual kulit hewan kurbannya maka tidak ada kurban untuknya (kurbannya tidak sah atau tidak sempurna).” (HR. al-Hakim).
(Hadits ini dihukumi shahih oleh Imam al-Hakim dan Imam as-Suyuthi. Namun Imam adz-Dzahabi menilai hadits ini tidak sampai ke derjat shahih karena di dalam sanadnya ada rawi bernama Abdullah bin ‘Ayyash yang dinilai lemah oleh beberapa ulama hadits).
B. Kulit hewan kurban hanya boleh disedekahkan atau dimanfaatkan oleh peserta kurban. Kalau disedekahkan kepada fakir atau miskin maka si fakir atau miskin tersebut boleh untuk menjualnya.
C. Dalam kondisi dimana tidak ada yang mau menerima kulit hewan kurban sebagai sedekah, sementara peserta kurban juga tidak mau untuk memanfaatkannya, maka kulit hewan kurban boleh dijual dan hasil penjualannya disedekahkan kepada fakir atau miskin. Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam Awza’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur yang membolehkan kulit hewan kurban untuk dijual sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (jilid 3 halaman 556).
Ketiga, tentang upah untuk pekerja dan tukang jagal
A. Upah untuk pekerja dan tukang jagal tidak boleh diambilkan dari daging kurban. Hal ini berdasarkan hadits berikut :
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا» قَالَ: «نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا» (رواه مسلم رقم 1317).
Dari Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata: “Saya diperintahkan oleh Rasulullah Saw untuk menyembelih unta kurbannya, lalu menyedekahkan daging, kulit dan pelananya, dan aku tidak boleh memberi tukang jagal dari daging kurban itu sedikitpun. Nabi Saw berpesan: “Kita akan beri upah mereka secara terpisah.”
B. Larangan memberi daging kurban untuk tukang jagal atau pekerja itu maksudnya adalah kalau daging tersebut diberikan sebagai upah. Adapun kalau upah untuk pekerja atau tukang jagal sudah diberikan secara penuh maka mereka boleh diberikan daging kurban sebagai sedekah atau hadiah.
Imam Ibnu Hajar berkata:
الْمُرَادُ مَنْعُ عَطِيَّةِ الْجَزَّارِ مِنَ الْهَدْيِ عِوَضًا عَنْ أُجْرَتِهِ
“Yang dilarang adalah memberi tukang jagal dari daging kurban sebagai upah.”
Ia juga menukil pendapat Imam al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah:
وَأَمَّا إِذَا أَعْطَي أُجْرَتَهُ كَامِلَةً ثُمَّ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فَقِيْرًا كَمَا يَتَصَدَّقُ عَلَى الْفُقَرَاءِ فَلاَ بَأْسَ بِذَلِكَ
“Kalau orang yang berkurban sudah memberi upah pekerja secara sempurna, kemudian ia bersedekah pada tukang jagal (pekerja) kalau ia seorang yang fakir sebagaimana ia bersedekah kepada orang-orang fakir lainnya maka tidak apa-apa.” (Fathul Bari 3/556).
Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied juga berkata :
أَمَّا إذَا أَعْطَى الْأُجْرَةَ خَارِجًا عَنْ اللَّحْمِ الْمُعْطَى وَكَانَ اللَّحْمُ زَائِدًا عَلَى الْأُجْرَةِ فَالْقِيَاسُ أَنْ يَجُوزَ
“Kalau pekerja sudah diberikan upah diluar dari daging yang diberikan, artinya daging tersebut merupakan bonus di luar dari upah maka secara qiyas hal itu boleh.” (Ihkam al-Ahkam 2/82).
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]