Memasuki bulan suci Ramadan, kegiatan keagamaan pun marak dan banyak berseliweran informasi-informasi terkait bulan tersebut di media sosial. Para mubaligh atau penceramah sering menyebut-nyebut beberapa hadis nabi yang menguraikan terkait fadhilah (keutamaan) bulan Ramadan. Hal itu kemudian menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meningkatkan ibadah dan amal kebaikan.
Namun, terkadang hadis-hadis yang mereka sampaikan tidak terverifikasi sebagai ucapan nabi. Dalam ilmu hadis dikenal sebagai hadis maudhu’ (hadis palsu). Hal itu terjadi karena tidak adanya silsilah sanad yang bersambung atau memiliki sanad akan tetapi terdapat perawi yang terindikasi sebagai pendusta.
Adapun pengertian hadis maudhu’ menurut Imam an-Nawawi dalam Tadribu Rawi adalah :
الموضوع : هو الكذب، المختلق، المصنوع، المنسوب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Hadis maudhu’ adalah sesuatu yang dusta, yang dibuat-buat dan dinisbatkan kepada Rasulullah SAW”.
Dari definisi di atas, sesuatu yang bersandar kepada Nabi Muhammad Saw bisa berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir-Nya (sikap diam nabi) atas perilaku sahabatnya.
Salah satu faktor munculnya hadis maudhu adalah gairah beribadah yang tinggi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para pemalsu hadis biasanya membuat narasi menarik melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan untuk meningkatkan amal melalui hadis targhib wa tarhib (motivasi dan ancaman) dalam beribadah. Walaupun tujuannya baik, akan tetapi berbohong atas Nabi Muhamad SAW. merupakan sebuah pelanggaran berat yang pelakunya sama saja menjerumuskan dirinya ke neraka.
Diantara hadis palsu yang beredar di masyarakat adalah tidurnya orang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan pahalanya, doanya dikabulkan dan dosanya diampuni. Berikut bunyi hadisnya :
أَخْبَرَنَا يَحْيَى قَالَ: ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ دَاوُدَ بْنِ أَبِي نَصْرٍ السَّرَّاجُ، نا سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي أَوْفَى، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ، وَسُكُوتُهُ تَسْبِيحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ، وَعَمَلُهُ مُتَقَبَّلٌ, وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
Terkadang orang yang menghabiskan hari-harinya untuk tidur keliru dalam memahami hadis tersebut. Sehingga menjadikannya sebagai dalil untuk mendukung aktivitas malasnya itu, padahal tantangan dan godaan puasalah yang membuahkan pahala dari Allah SWT.
Dalam buku Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan karya Prof. Dr. KH Ali Musthafa Ya’kub menguraikan terkait kepalsuan hadis ini. Menurut Imam al-Suyuti, kualitas ini adalah dha’if (lemah). Bagi orang yang kurang mengetahui ilmu hadis, pernyataan Imam al-Suyuti ini dapat menimbulkan salah faham, sebab hadis dhaif itu secara umum masih bisa menjadi bahan pertimbangan untuk diamalkan. Sedangkan Hadis palsu (maudhu’), semi palsu (matruk), dan munkar itu tidak bisa menjadi dasar beramal sama sekali.
Menurut kritikus hadis al-Iraqi menilai Sulaiman bin Amr yang merupakan salah satu perawi dari hadis tersebut sebagai seorang pendusta. Al-Minawi menyebutkan beberapa nama rawi yang terdapat pada sanad hadis tersebut, yaitu Abd al-Malik bin Umair yang terindikasi sangat lemah. Diatas itu, kritikus hadis menilai Sulaiman bin Amr sebagai pendusta dan pemalsu hadis yang paling parah kedhai’ifannya.
Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Adiy memberikan penilaian yang sama terhadap Sulaiman bin Amr. Bahkan Imam Ibnu Adiy menuturkan, “Para ulama sepakat bahwa Sulaiman bin Amr adalah Pemalsu Hadis”. Keterangan-keterangan ulama ini cukuplah untuk menetapkan bahwa hadis di atas adalah palsu.
Oleh karena itu mari kita hidupkan Ramadan ini dengan ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Walaupun tidur hukumnya boleh, bahkan menjadi anjuran dalam rangka mejaga diri dari maksiat. Tidur yang ideal itu adalah tidur secukupnya. Karena sesuatu yang berlebihan itu tercela dalam agama. Semakin kuat kita menahan godaan saat berpuasa semakin banyak juga pahala yang kita raih, karena pahala sesuai dengan kadar amal-amal kita.