Bulan Safar, Benarkah Bulan Sial?

waktu baca 4 menit
Senin, 21 Agu 2023 13:15 0 80 Kiki Masduki

Fimadina.com – Bulan Safar, yang merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah setelah bulan Muharram, telah lama dikenal sebagai bulan yang menarik perhatian dan muncul dengan berbagai konotasi. Di balik penamaan bulan Safar, ternyata terdapat alasan yang menarik dan menyimpan sejarah yang kaya. Alasan-alasan ini terungkap dalam penuturan beberapa tokoh agama dan sejarah, seperti Imam Ibnu Katsir dan Ibnu Manzhur. Mari kita telusuri lebih dalam tentang latar belakang nama bulan Safar dan mitos yang mengelilinginya.

Dalam catatan sejarah, Imam Ibnu Katsir, yang juga dikenal dengan nama Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, memberikan pencerahan tentang arti nama bulan Safar. Menurutnya, “Safar” berasal dari kata Arab yang berarti “sepi” atau “sunyi”. Nama ini merujuk kepada keadaan masyarakat Arab pada zaman dahulu ketika mereka meninggalkan rumah-rumah mereka untuk berperang atau melakukan perjalanan. Pada bulan Safar, rumah-rumah mereka menjadi sepi karena orang-orang keluar untuk terlibat dalam konflik atau perjalanan jauh. Oleh karena itu, nama “Safar” tidak lepas dari pengertian ini: “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, juz IV, halaman 146).

Lebih lanjut, Ibnu Manzhur menyajikan alasan tambahan terkait penamaan bulan Safar. Dia mengemukakan tiga alasan utama yang mendasari pemilihan nama ini. Pertama, bulan Safar adalah waktu di mana orang Arab membawa hasil panen mereka dan mengosongkan ladang-ladang mereka. Kedua, pada bulan ini, mereka juga cenderung terlibat dalam konflik atau pertempuran melawan suku-suku lain, yang mendorong mereka untuk meninggalkan rumah dan pergi tanpa membawa banyak bekal. Ketiga, kepercayaan tersebut menyebabkan suatu pola ketidakpastian dan krisis ekonomi, yang memberi tempat bagi anggapan bahwa bulan Safar membawa kesialan. (Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, juz IV, halaman 460).

Mitos Kesialan di Bulan Safar: Perspektif Islam dan Kebenaran

Tidak dapat disangkal bahwa anggapan tentang kesialan di bulan Safar telah mengakar dalam budaya populer. Meskipun banyak orang percaya pada kepercayaan ini, pandangan Islam tidak mendukung keyakinan ini. Ibnu Rajab al-Hanbali dengan tegas menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa semua waktu, bulan, dan tahun adalah ciptaan Allah yang bisa mengalami baik dan buruk. Menurutnya, tidak benar untuk menganggap bulan Safar lebih sial daripada bulan-bulan lainnya. Dalam hal ini, Ibnu Rajab berkata, “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.”

Dengan demikian, Ibnu Rajab mengingatkan bahwa keberuntungan atau kesialan tidak dapat ditentukan berdasarkan bulan atau waktu tertentu. Lebih lanjut, dia mengajarkan bahwa keberkahan atau kesialan suatu zaman tergantung pada tindakan manusia dalam melakukan ketaatan atau kemaksiatan kepada Allah. “Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi).”

Bukti Bulan Safar Bukan Bulan Kesialan: Fakta Sejarah dan Kehidupan Rasulullah

Dalam upaya untuk menghilangkan anggapan negatif terhadap bulan Safar, beberapa tokoh agama telah mencatat peristiwa penting yang terjadi dalam bulan ini. Faktanya, banyak peristiwa penting dalam sejarah Islam terjadi pada bulan Safar yang menunjukkan bahwa pandangan tentang kesialan dalam bulan ini tidak memiliki dasar kuat.

Misalnya, pernikahan Rasulullah Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah dan pernikahan Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra terjadi pada bulan Safar. Hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah juga bertepatan dengan bulan ini. Lebih jauh, peristiwa perang pertama, seperti perang Abwa dan perang Khaibar, terjadi pada bulan Safar. Dalam setiap peristiwa ini, umat Islam meraih kemenangan dan prestasi besar.

Dalam pandangan Islam, keyakinan bahwa bulan Safar membawa kesialan adalah salah dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebagai gantinya, Islam menekankan bahwa takdir dan peristiwa dalam hidup ditentukan oleh kehendak Allah dan tindakan manusia. Oleh karena itu, kita sebagai muslim seharusnya menjauhkan diri dari keyakinan yang tidak berdasar dan senantiasa mengikuti pedoman ajaran Islam yang sejati. Kita harus memandang bulan Safar sebagai bagian dari waktu yang Allah telah ciptakan, dan tidak menghubungkannya dengan mitos kesialan yang tak berdasar. (nuonline)

Home
Kontak Kami
Search
Kembali